Minggu, 28 April 2019

Tentang Apresiasi dan Ekspektasi

Postingan ini akan langsung ke intinya karena aku lagi nggak ada bahan buat basa-basi.

Kebanyakan manusia kadang hanya melihat delta atau perubahan saja. Sesuatu yang unik atau 'tidak biasanya' cenderung mendapat perhatian lebih. 

Sederhana, sebut saja seorang preman random dengan tubuh penuh tato tiba-tiba insyaf mulai taubat dan berbuat baik seringkali lebih dihargai daripada orang baik-baik yang konstan berbuat baik. Dalam beberapa kasus malah dipandang sebelah mata, orang menyebut itu sudah biasa. Sehingga kita kadang lupa mengapresiasi tindakan orang tersebut. Kita sudah terlanjur berekspektasi.

Setelah beberapa lama mengamati dinamika kehidupan, ekspektasi memang seringkali menjadi tokoh utama penyebab masalah ini. Kita berespektasi bahwa orang jahat akan terbiasa berbuat jahat, orang baik akan selalu berbuat baik, sehingga ketika ada keadaan yang berlawanan dengan ekspektasi kita, kita akan langsung notice. Bahkan mungkin langsung men-judge. Tapi disini sesuai judul aku bakal lebih fokus ke yang baik dan tentang apresiasi.

Kadangkala sebuah perubahan memang perlu kekuatan besar sebagai pendorong. Tapi tidakkah kita pernah berpikir bahwa mempertahankan kebaikan juga butuh energi? 
Untuk melawan godaan
Mengalahkan ego pribadi
Hingga melakukan kebaikan itu sendiri

Memang setiap orang berbeda. Ada yang butuh sedikit sekali energi untuk berbuat baik, atau kapasitas energinya sangat besar sehingga mudah baginya melakukan kebaikan berkali-kali. Namun, seberapapun kapasitas dan keperluan energinya, suatu saat akan habis. Ketika masih saja dipaksakan dengan tuntutan ekspektasi orang lain, paling parah, bahkan bisa jadi terkumpul energi yang berbalik menjadi pendorong untuk berbuat buruk.

Memang mengerikan kadang tindakan simpel kita bisa berpengaruh besar pada kehidupan seseorang.

Maka itu sebabnya sebagai warga negara yang budiman, hendaknya kita lebih banyak menurunkan ekspektasi dan lebih sering mengapresiasi hal-hal kecil. Karena tindakan berekspektasi yang menurut kita adalah hal yang remeh dan kadang tidak disadari dilakukan begitu saja bisa menyebabkan banyak kemungkinan yang tidak diinginkan.


N.B.
Maaf bet tulisannya jadi kemana-mana dan nggak fokus karena saya sedang tertekan menghadapi banyak ekspektasi.

help me,
 please




Bersama dengan kelebihan yang dianugerahkan kepadamu, disiapkan pula ujian sebesar harga kelebihanmu.

Tinggal bagaimana kamu menyikapinya dengan bijak.

Minggu, 10 Maret 2019

Halo!

Kayaknya udah berdebu haha.
Tapi insyaAllah masih terang.

Btw ini postingan sejak 2016!
Entah waktu itu kayaknya ga kepencet publish jadinya ya begini.
Dibaca-baca kok ya rada lucu wkwk tapi sayang dibuang. Plus karena google+ udah nggak aktif kayaknya bakal dikit juga yang liat postingan ini. Let it be a hidden treasure for you.

Ada sesuatu yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku. Tepatnya bukan sesuatu sih. Seseorang. Rasa-rasanya udah sekitar 4 bulan lalu (walaupun udah mulai kerasa sebelum itu). Disini sebenernya bukan pengen cerita gimana asal muasalnya tapi lebih ke apa yang bisa diambil dari kejadian ini.

Enjoy!

Dia orang baik. Terlalu baik malah.

Mengutip dari tumblr seseorang, aku mendefinisikan dia 'terlalu'. Dia sungguh ‘terlalu’ bagiku. Terlalu teduh. Terlalu menenangkan. Terlalu menyenangkan. Hingga tak butuh waktu lama untuk memantapkan hati padanya.

Sejak saat itu rasa-rasanya susah sekali untuk bertemu dengannya tanpa memperhatikan setiap detail informasi yang bisa aku dapatkan tentangnya. Pola pikirnya yang dewasa, caranya menghadapi suatu urusan, geraknya yang serba cekatan dalam menyelesaikan sesuatu semakin melengkapi berbagai opini tentang dia. 

Saat ini dia sedang berada ratusan mil dari tempatku. Kurang lebih melakukan hal yang sama. Meninggikan ilmu, mencari bekal sebanyak mungkin untuk hari tua. Kami jarang mengobrol, apalagi bertemu. Sejak awal kami memang tidak terlalu dekat. Tapi tidak jadi soal. Menurutku memang sebaiknya seperti ini dulu.

Dia orang baik. Terlalu baik malah.

Begitu baiknya sampai orang akan bilang dia terlalu baik untuk diriku. Aku setuju. Bukan berarti aku suka mendengar apa kata orang dan tidak punya prinsip. Aku setuju karena memang diriku yang sekarang masih jauh dari kata pantas untuknya. Karenanya, aku menahan diri. Memutuskan menjaga jarak. Selain situasinya sedang tidak menyenangkan karena beberapa hal, aku juga ingin fokus untuk memantaskan diri.  Tapi, disela-sela aku mendoktrin diri sendiri untuk fokus, memang ada saat-saat dimana aku ketakutan akan banyak hal. Takut dia menjauh sejauh-jauhnya ketika aku mencoba mendekat, takut ketika aku diam lalu orang lain mendekat, takut aku membuat kesalahan, dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.

Sampai detik ini aku hanya bisa diam dan mendoakan yang terbaik untuknya. Rencanaku saat ini hanya aku akan fokus. Aku ingin menaikkan ‘nilai’ku. Memang perlu waktu. Tapi tidak ada salahnya menunggu dulu. Toh tidak ada ruginya. Kalaupun orang bertanya, “Yakin pasti dia?” yang aku tau ketentuannya cuma dua. Kalau bukan dia, ya yang lebih baik dari dia. Walaupun harapan “Semoga dia” selalu ada.


Dia orang baik. Terlalu baik malah.
Dan tidak ada salahnya untukku menjadi baik juga.

Selasa, 25 Desember 2018

Harga

Satu semester untuk beberapa menit.

Beberapa menit yang selalu menarik untuk ditunggu.

Kali ini sekitar... 45 menit?

Pun hanya terucap 2 kalimat.
Padahal obrolan lain asyik dijalani dengan khidmat.


Cukup.
Kalau tidak cukup,
maka cukupkanlah.


N.B.
Belakangan ini kata "cukup" nampaknya harus dibiasakan.
Efeknya bagus.

Cukupkanlah

Sabtu, 22 Desember 2018

Egois.

"Eh ayo kumpul kuy. Jalan-jalan kemana gitu. Udah lama juga kan ga ketemu."
"Skip dulu eh."
"Sorry bet gabisaa." 
"Skip."

 "..."

(read by 46) 

Dulu kupikir mereka pada egois banget ya. Katanya susah seneng bareng. Katanya setelah lulus jangan lupa temen. Katanya keluarga. Katanya dan katanya...

Nyatanya...
Sebenernya aku yang egois.
Aku yang nggak pengen ada sesuatu yang berganti diantara kita dan memaksakan keinginanku ke kalian yang punya tuntutan masing-masing adalah perwujudan egois yang sebenar-benarnya.

Tapi santai saja kawan

Kalian boleh banget menolak ajakan-ajakanku dan aku bakal dengan senang hati tetap konsisten ngajakin kalian tiap ada kesempatan.

Satu hal saja.

Biarkan aku tetap egois.

Semoga kita semua lulus dengan keren!